Bagaimana Aku Ingin Mencintai? (untuk mengenang Sapardi Djoko Damono)

(Sapardi Djoko Damono, sastrawan Indonesia)


Semenjak membaca puisi Sapardi, aku mulai bertanya-tanya tentang:
Bagaimana aku ingin mencintai?
Sebab tak pernah ada standar paling pasti perihal mencintai, bukan?
 
Aku Ingin
(Karya Sapardi Djoko Damono)

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Layaknya korek api, puisi ini memantik pergumulan tanya dalam otakku. Terutama karena Sapardi lebih memilih cara mencintai yang sederhana. Mungkinkah karena cinta melulu perkara rumit?
Setelah membaca berkali-kali, sepertinya aku memang tak bisa memahami puisi ini sewajarnya saja.

Menurutku, Sapardi terlalu merawat pesimisme dalam puisi itu – dan aku mulai bertanya-tanya, apakah “Aku Ingin” adalah puisi cinta? Dalam kacamataku, semua bait menunjukkan bahwa mencintai berarti mengikhlaskan dan merelakan. Seolah mencintai menabukan arti cinta itu sendiri.
Atas sebab apa kayu harus menjadi abu untuk mencintai api? Mencintai nampak seperti membinasakan cinta itu sendiri. 

Kepada kayu aku ingin bertanya, bagaimana caramu menuntaskan rindu? Apakah hanya dengan merahasiakannya sampai mati?
Kepada awan aku ingin bertanya, mengapa kau tetap mencintai hujan meskipun tak pernah ada kemungkinan bahkan kesempatan?
Mengapa kau tukar kebahagiaanmu dengan kepedihan?

Untuk kayu dan awan, lantas bagaimana caramu berkawan dengan rasa takut kehilangan?
Apa yang ku bayangkan adalah cinta tanpa rasa takut kehilangan hanyalah omong kosong belaka; tak perlu ku yakini kebenarannya.
Tetapi mungkinkah mencintai tanpa rasa takut dapat membuka jalan bagi kebahagiaan?
Dan bahwa sebenarnya awan menemukan kebahagiaan meskipun cintanya tak pernah tersampaikan kepada hujan?
Dan sebenarnya juga, kayu pun menemukan kebahagiaannya meskipun untuk mencintai api, ia harus menjelma abu?
Karena dalam abu, mereka kekal.


Yogyakarta, 4 Agustus 2020.

in memoriam Sapardi Djoko Damono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar