Pada realitas masyarakat,
orang-orang cenderung tidak memunyai rasa memiliki negaranya sendiri. Padahal
negara adalah rumah kita. Hanya dengan melihat secara sekilas saja sudah sangat
menggambarkan identitas dan kebanggaan nasional yang kering. Rakyat seolah
berjalan tanpa pegangan.
Albert
Konner, begitu orang tuaku menamaiku. Sebagai “juru foto”, aku merasa disodori bisik-bisik negatif dari negara
tetangga. Sungguh, negara yang gegabah dalam memimpin rakyatnya akan melahirkan
generasi-generasi yang senang mengumpat. Akankah rakyat ini membiarkan negaranya
menjadi bulan-bulanan negara lain untuk menitipkan ide-ide mereka? Sedangkan
kita masih berpikir secara tradisional di zaman yang modern ini.
Partai-partai
politik bermunculan dan jumlahnya mencapai kepala dua. Di balik itu semua, ada
tim sukses yang bersembunyi.
“Ketua partainya gagal, tapi
timnya tetap sukses. Semoga saja pidato yang dibacakan di depan rakyat bukan
hasil karya tim suksesnya.”, pikirku.
Mereka melakukan pencitraan
sana-sini untuk mencari simpati. Tiba-tiba melakukan blusukan menjelang pemilu,
dan segala macam embel-embelnya. Mereka tidak tahu bahwa ada yang lebih penting
dari sekadar pamer teknik. Pidato ketua partai tidak jadi jaminan Ia akan
memimpin dengan baik.
Presiden tidak seharusnya
memikirkan hal-hal berat diusianya yang lebih dari setengah abad itu. Usia yang
nyaris tidak produktif lagi. Pemimpin kita saat ini terlalu payah untuk
menutupi pundi-pundi matanya yang membengkak.
“Menangisi cibiran atau
mungkin tidak tidur semalaman untuk menyelesaikan dokumen-dokumen negara? Ya, dokumen
yang beberapa tempo lalu hampir dilalap api.”, gumamku.
“Apakah berusia lanjut
berarti memiliki banyak pengalaman dan inteligensi yang semakin matang? Bagaimana
kalau dia sudah pikun? Bagaimana kalau dia telah melupakan segudang ilmu yang
dilambangkan dengan gelar yang dicantumkan pada namanya itu?”, lanjutku dalam
hati.
Orang seumuran dia yang lain malah
sudah duduk-duduk di kursi santai. Menikmati bintang gemintang yang tidak pernah
bercerai dengan malam.
“Saya pikir dengan menjadi
presiden tidak membuat orang jadi sukses dan berduit banyak. Gaji pengusaha
sekarang malah menyaingi gaji presiden. Bahkan melampau jauh. Paling-paling
menduduki jabatan itu hanya beroleh sunggingan bibir dan senyuman sinis dari
masyarakat. Tentu saja itu tidak akan terjadi kalau kepemimpinannya bersih.”,
timpalku lagi.
***
Rakyat memilih diam, tapi
pengamat politik menganggap mereka apatis dan tidak kritis. Rakyat berbicara,
tapi dituduh mencemarkan nama baik. Aku merasa emosiku meluap-luap dan tumpah
ke luar.
“Lalu apa standar kemanusiaan yang tepat?Apakah menguak kebenaran dinilai salah bagi pemerintah?”
“Aku tidak pernah iri karena tidak menjadi mereka. Untuk apa?”
Benih-benih demokrasi mereka
nikmati sendiri. Mereka yang seharusnya menginginkan kehidupanku yang damai.
“Sepertinya
negara ini tidak bisa mendengar aspirasi yang terlalu klise, perlu kata-kata
yang lebih teoritis untuk membuka telinga mereka yang tersumpal.”, aku menyalak.
Zaman sekarang banyak rapper yang menyampaikan kritik lewat
lagu bertema politik. Mereka pikir mungkin pemerintah tidak bisa memahami
liriknya. Mereka terlalu lamban untuk mengikuti syairnya. Bicara soal syair, aku
tidak mau menyalahkan menteri negara yang tidak hafal lagu Indonesia Raya.
“Yahh… Sepertinya itu sama
saja dengan anak sekolah yang tidak hafal lagu mars sekolahnya sendiri.”
Sesuatu tiba-tiba terbesit dalam
di pikiranku. “Rasanya Tuhan menciptakan mulut untuk berbicara. Tapi, para
petinggi negara seolah membungkam mulut rakyatnya sendiri. Mereka menyumbat
mulut-mulut orang kecil dengan uang yang tidak seberapa bagi orang kaya.”
Aku berkata lagi, “Rakyat kecil
jadi sasaran terus-menerus. Mungkin, pemerintah pikir mereka akan menyampaikan
keluh kesahnya melalui demonstrasi. Media melirik aksi dan berita itu tersebar ke
segala penjuru. Kemudian citra presiden menjadi buruk di mata rakyat.”
Presiden akan kotar-katir
melihat protes rakyat. Bertambahlah satu helai uban pada rambutnya. Aku harap
dia tidak menutupinya dengan pewarna rambut. Aku tertawa cekikikan. Tentu saja aku
tidak mendoakan pemimpin kita cepat mati.
***
“Dunia
sudah berubah, tidak seperti dulu. Dulu golongan mudalah yang mengoprak-oprak
golongan tua pada peristiwa di Rengasdengklok. Sekarang, anak muda lebih memilih
dunia bermain yang mereka pikir lebih megah dari dunia politik.”
Aku
menghidupkan sosok dalam imajinasiku. Ia membakar dirinya dalam bara api yang
menyala-nyala penuh arti. Lalu mulai menyahuti ucapanku.
“Rakyat
dan pemerintah seperti memiliki dunia sendiri. Masing-masing tinggal dalam
kontemplasi ruang isolasi.”
Kami
terus bersahutan hingga senja menyela percakapan kami. Ibu memperingatkanku
untuk pergi ke meja makan dan merakusi hidangan malam itu. Aku terbangun dari
posisi bertongkat tangan di kamar.
Di
meja makan. Masih seperti biasa.
“Kamu
kalau makan yang seimbang. Jangan banyak lauknya gitu.”, kata Ibu.
Perkataan
Ibu saat itu membuatku menganalogikannya dengan kehidupan negara ini. Kita butuh
porsi ideal untuk mengatur jatah bicara. Tujuannya agar tidak ada bersitegang di
antara kita. Lalu aku melahap hidangan itu tanpa kenal ampun.
Ayah
tidak datang dalam perjamuan makan malam itu. Dia masih lembur. Hanya ada aku,
Ibu, dan Bibi Baekuni. Kami bercengkerama seperti ibu-ibu merumpi. Memang tidak
sopan berbicara selagi makan. Tapi, toh tidak ada hukumnya, kan? Ya. Norma
kesopanan hanya akan menjadi norma yang tidak tertulis di negara ini. Atau
mungkin di negara lain juga begitu?
***
Aku
pergi ke ruang keluarga, menyalakan televisi. Ada berita presiden terlibat kasus
suap.
“Aku tidak akan
memilih partai itu periode berikutnya. Untuk apa menaruh kepercayaan pada partai
itu lagi jika sudah tahu begini?”
Meskipun aku tahu tak ada perubahan yang bisa diharapkan dari hanya mencela. Di sisi lain, petinggi negara ketakutan
mencela teman sendiri atas praduga buruk. Mereka membiarkan diri mereka
bersahabat dengan setan. Sementara korupsi beranak cucu. Tidak ada lagi yang
bernyali besar selain orang-orang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kembali
ke tayangan televisi. Pemilik industri marah-marah menyalahkan turunnya rupiah,
tanpa bisa berbuat apa-apa untuk membuat rupiah stabil kembali. Loncat beberapa
stasiun televisi, ada berita pembunuhan. “Seorang Ibu tega membunuh anaknya
sendiri.”, begitu tagline yang kubaca
di layar televisi.
“Untuk
apa ada berita tentang kejahatan bila hanya membuat penontonnya menebar caci?”
Aku
melihat seorang Ibu dengan kerut-merut di dahinya yang cukup menggambarkan
usianya.
“Mengapa Ia memberikan
penjelasan pada polisi itu sembari sesenggukan? Lebih baik Ia tamatkan dulu
saja air matanya.”, komentarku agak ketus.
Aku
membayangkan akan ada banyak orang yang akan menghujatnya jika mereka menonton
siaran ini.
“Andai
saja televisi hanya memberitakan kabar baik. Mungkin otak manusia tidak serusak
sekarang. Pembunuhan, penembakan, teror, penganiayaan, minuman keras telah
meradang dan menjadi kebiasaan. Seolah-olah hal semacam itu telah diprogram di
otaknya.”
“Itu
juga tidak semata-mata karena salah media, Konner. Tapi pengaruh budaya barat
yang masuk tanpa permisi dan rakyat juga menerimanya mentah-mentah. Mereka
melegalkan senjata dan membiarkan rakyatnya mahir menembak tanpa harus menjadi
anggota kepolisian. Lagipula, hura-hura di negara barat sudah menjadi tradisi.”,
sergah Ibu.
Aku
mencari sumber suara itu. Entah datangnya dari mana. Ibu segera duduk di
sampingku, ikut menikmati hiburan televisi. Aku membuka pembicaraan.
“Ibu
besok kerja lagi?”
“Iya. Ibu
kan cuma ambil libur sehari saja.”
Aku khawatir dia akan kehilangan jiwa keibuannya. Tapi aku
bahagia karena Ia masih memunyai rasa memiliki. Walaupun sedang ambil absen di
kantornya, dia tetap beres-beres rumah. Dia tidak mau kalau Bibi Kuni―begitu aku
memanggilnya agar lebih singkat―malah lebih tahu di mana letak perabot rumahnya
dibanding dirinya sendiri. Jangan sampai majikan membabukan diri.
Aku
meninggalkan Ibu, pergi ke balkon. Aku melihat seorang pengemis pulang dari
menengadah seharian. Anak kecil yang tempo hari kuajak bicara sebentar. Kemiskinan
masih membuat Indonesia menjadi negara berkembang, tidak lepas dari kehidupan
di jalanan yang sehari-hari diliputi rasa was-was. Aku sedikit beringsut dari
posisi sebelumnya. Tampak handuk yang basah terkena keringat menggantung pada
tengkuk pengemis itu. Terbesit dalam raut mukanya sebuah kesedihan. Ia sesekali melihat
botol aqua pada genggamannya yang
tidak terisi penuh. Aku melihat pengemis itu melewati jalan kecil di depan
rumahku. Aku mengikutinya dengan pandangan mata. Sampai sosoknya hilang di
lekukan jalan.
“Akankah
Ia kena damprat orang tuanya setibanya di rumah nanti?”
Anak
kecil itu tampak terbirit-birit dikejar malam. Tapi dalam hati, sepertinya Ia
tak ingin pulang. Takut diomeli mungkin.
***
Udara malam mulai adem. Kali
ini aku sudah ada di kamar. Kembali dalam termenung.
“Harus berani kotor dan
belajar untuk bisa maju. Pendidikan bisa mengubah pola pikir masyarakat yang
serba apa adanya. Kalau setiap orang memikirkan sesuatu yang orang lain tidak
pikirkan, mungkin Indonesia akan didominasi oleh ide-ide baru. Pemimpin tinggal
mempertimbangkan ide-ide itu dan kemudian membantu merealisasikannya.”
“Kalau memang rakyat dan
pemimpinnya malas berpikir, berarti kita telah mengizinkan diri untuk
diperbudak oleh ilmu pengetahuan.”, aku berkata lagi.
Aku
terus bercakap-cakap dengan sosok lain dalam diriku sendiri. Kami selalu
sepemikiran, tidak ada silang pendapat.
Kita bisa melihat profil
bangsa dengan melihat figur pemimpin. Kita semua memiliki negara ini. Belum punya
KTP bukan berarti belum sah menjadi warga negara kan? Tanpa rasa memiliki apalah
arti semua? Lebih baik jual saja negara ini pada negara komunis yang tak
ber-Tuhan.
“Kalau negara berantakan,
apakah kamu yang bereskan atau main suruh?”, begitu lirik lagu yang barusan
kudengar.
Gelap menjemput dan
mengantarku ke pembaringan. Tapi bukan peristirahatan terakhir.
***
Ibu sudah rapi dengan
pakaian kantornya. Seperti biasa, Ia akan pulang menjelang petang. Aku rasa Ibu
cukup perhatian karena sudah menyiapkan sarapan. Walaupun instan, tapi dia sudah
mengoleskan selai cokelat pada dua tangkap roti di meja makan. Giliran Bibi
Kuni yang menyiapkan segelas susu. Aku menghabiskan pagi ini tanpa
cerita. Liburan semester ini membuat hari-hariku dipenuhi waktu luang. Beberapa
semester lagi aku bisa memperoleh gelar sarjana hukum yang selama ini aku
janjikan pada Ibu.
Ayah
pulang dengan tubuh yang letoi dan wajah seperti diserang kantuk
habis-habisan. Rupanya Ia baru tidur subuh tadi. Perawakannya tidak bisa
menutupi kelemahannya. Ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku.
Pukul 07.10 pagi. Ayah datang tanpa dasi melingkar pada lehernya. Ia meletakkan
seluruh barangnya. Lalu pergi mandi.
Dia
bermalam di kantor menyelesaikan tugas-tugas administrasi. Dari situ aku bisa melihat
gambaran kesibukan seorang pemimpin negara.
“Apakah presiden kita tidak
pernah meninggalkan meja kantornya bahkan hanya untuk makan siang?”
Ayah menyapaku sebentar. “Kamu
sudah makan, Ner?”
“Udah, Yah. Kenapa semalam nggak pulang Yah?”
“Biasalah, Ner. Urusan
kantor.”
Sudahlah. Kubiarkan saja dia
beristirahat. Aku tidak ingin terlarut dalam percakapan yang terlalu
panjang. Lagipula matanya sudah sayu dan merah.
***
Bukan wajah tegas yang ingin
aku lihat pada sosok seorang pemimpin. Tapi selongsong senyum yang ikhlas. Selama
ini yang kulihat hanya gambaran tensi yang tinggi dari wajahnya. Begitupula pada
wajah Ayah.
Rakyat merasa lebih tahu
dari pemerintah. Ada keganjalan yang pemerintah buat. Mereka diam-diam menyimpan
agenda.
“Bagaimana rakyat tidak
curiga jika tidak ada keterbukaan di antara mereka?”
“Selama ini
kita selalu menyorot pemimpin karena merasa negara berada di tangannya. Tanpa
kita sadari bahwa kita telah mengizinkan petinggi negara mengkhianati negaranya
sendiri. Di balik itu semua, kita juga merasa ada praktik nepotisme yang bersarang pada negara kita.”, tambahku lagi.
Ayah berangkat lagi ke kantor
siang ini dan pulang jam lima sore. Tidak terasa langit lebih cepat gelap hari
ini. Beberapa jam kemudian Ayah pulang. Keluar dari kendaraan berpintu empat. Ayah
langsung duduk di sampingku.
“Sore yang meruput ya, Ner.
Mari kita seruput kopi!”, kata Ayah sambil merangkul pundakku.
Aku tahu. Hanya kopi yang
dapat mengusir rasa kantuknya. Lalu aku dan Ayah menikmati kopi sekaligus
matahari yang merangkak di langit ke arah barat. Berjalan melipir di atap
rumah.
“Ibu pulang..!”
Itu pasti suara Ibu.Aku tahu
persis itu suaranya. Ya. ASI yang dia berikan kepadaku cukup membangun ikatan
batin di antara kami.
“Aku harap aku tidak
memiliki naluri binatang. Asal kalian tahu saja. Aku menyusu pada hewan lebih
lama daripada dahulu aku menyusu pada Ibuku.”
SELESAI