Dinihari ialah seni mengingat; satire
yang tumbuh di bibir-bibir para pencibir.
Sore
itu, kau adalah berita dalam televisi yang mudah diduga bagaimana akhirnya,
sementara aku penonton setia sebab kadang-kadang terlalu banyak pilihan sama
dengan tak ada pilihan lain. Secara saksama, kudengar-lihat bagaimana kau
memberitakan kronologi peristiwa yang kau tolak sebagai repetisi dan peranku
bertambah satu di sini—penonton yang seolah bodoh dan harus tercengang
menyaksikan siaran kabar tentang kejadian tipikal.
Kau
selalu memulai dengan cara yang itu-itu lagi. Pertama, kau akan menyampaikan
prolog membosankan tentang bagaimana kau bertemu mantan kekasihmu. Kedua,
dengan sangat berbinar, kau ungkit segala baik dan mengabaikan keburukan yang
lebih banyak kau telan darinya. Ketiga, seperti biasa kau akan menutupnya
dengan pertanyaan, “Mengapa ia tega meninggalkan aku?”
Kemudian,
bagian yang telah kuhafal, kau akan menatap langit ruangan dengan pendar matamu
yang berperan sebagai sepasang mata paling terluka di dunia. Lalu tangismu
pecah disusul pertanyaan-pertanyaan sialan, “Apakah aku terlalu gemuk untuknya?
Apakah aku lawan bicara yang membosankan? Kalau iya, apa sebabnya? Mengapa ia
bertingkah tak peduli atas segala kepedulianku padanya? Apakah aku tak tampak
menarik? Apakah aku harus melakukan operasi plastik?”
Begitulah
kau, bertahun-tahun menjadikan aku tempat bersandar saat kau merasa harus
menangis sembari mempertanyakan adakah yang mau dan mampu menerima apapun
adanya dirimu. Beginilah aku, bertahun-tahun mengusap air matamu yang
sesungguhnya tak perlu kau tumpahkan. Andai kau tahu bagaimana aku telah
menerimamu sebaik ibu menerima kehadiran anaknya lengkap dengan segala
kenakalannya. Aku ingin menjadi seorang pelukis yang mengenal wajahmu hanya dengan
melihat, bukan meraba seperti orang buta.
Begitulah
kau, bertahun-tahun tak juga membuatmu merasa cukup. Bahwa sempurna bukanlah
hal yang dapat kau kecup. Bahwa saat kau terluka, hatikulah yang satu-satunya
kuncup. Beginilah aku, bertahun-tahun tak pernah kau baca. Mungkin halaman
terakhirku telah melipat dirinya sendiri sebagai pertanda bahwa segalanya
mengenal sudah – dengan atau tanpa akhir bahagia.
Setelah
air matamu kering, seperti biasa kau mengantarku pulang dan tak pernah sampai
ke rumah. Di tepi jalan malam itu, kau melepas helm untuk mengakhiri hari
dengan ucapan terima kasih yang lesu, sementara aku sibuk memilih antara
membalasnya dengan sampai jumpa atau hati-hati saja. Aku tak memilih keduanya.
Lalu hujan deras menerpa dan dinihari terlalu kolot untuk mengenal mentari.
Begitulah kita yang terpisah oleh marka
pertemanan. Dinihari menjadi waktu yang paling pas untuk kita memenuhi trotoar jalan
tanpa harus takut kena tilang. Basah di pinggir kakimu harus kau keringkan.
Jangan memijak kamar dengan membawa becak lumpur yang hitam. Lalu mengetuk pintu
pulang dan membiarkan ibu terbangun dari rebahnya. Aku menuju kamar, menghabisi
kantukku. Ranjang adalah tempatku berpulang ketika tidak ada hati untuk
berpaut.
Kantuk menyeret ilusi dan hal-hal paling
melankolis. Dinihari yang
terlalu meruput untuk menjemput mimpi. Mimpi dan realitas
seperti tiada beda. Mereka selalu join.
Keduanya tidak mampu menyatukan kita. Kau tampak getir di mimpiku. Membawa
mawar yang tersayat durinya sendiri. Ia mati suri. Lalu, kau menanamnya di
kebun belakang bersama belukar dan ilalang. Menjadikannya lapuk bersama debu
halaman. Mawar tak lagi merah. Layu menjadi cakar bagi hatinya. Janganlah kau menebar kasih pada setiap rembes hujan di
hujung cerucuk atap. Seusai pagi merekah, aku nanar dalam menyimpul sikap.
Bagaimana hausku rembes terlalu dini.
Siapa yang akan menolak binar matamu
untuk bernyawa dalam mataku?