Lalu Hujan Deras Sekali (dengan sedikit gubahan)

Karya: Andi Gunawan


            Dinihari ialah seni mengingat; satire yang tumbuh di bibir-bibir para pencibir.
            Sore itu, kau adalah berita dalam televisi yang mudah diduga bagaimana akhirnya, sementara aku penonton setia sebab kadang-kadang terlalu banyak pilihan sama dengan tak ada pilihan lain. Secara saksama, kudengar-lihat bagaimana kau memberitakan kronologi peristiwa yang kau tolak sebagai repetisi dan peranku bertambah satu di sini—penonton yang seolah bodoh dan harus tercengang menyaksikan siaran kabar tentang kejadian tipikal.
            Kau selalu memulai dengan cara yang itu-itu lagi. Pertama, kau akan menyampaikan prolog membosankan tentang bagaimana kau bertemu mantan kekasihmu. Kedua, dengan sangat berbinar, kau ungkit segala baik dan mengabaikan keburukan yang lebih banyak kau telan darinya. Ketiga, seperti biasa kau akan menutupnya dengan pertanyaan, “Mengapa ia tega meninggalkan aku?”
            Kemudian, bagian yang telah kuhafal, kau akan menatap langit ruangan dengan pendar matamu yang berperan sebagai sepasang mata paling terluka di dunia. Lalu tangismu pecah disusul pertanyaan-pertanyaan sialan, “Apakah aku terlalu gemuk untuknya? Apakah aku lawan bicara yang membosankan? Kalau iya, apa sebabnya? Mengapa ia bertingkah tak peduli atas segala kepedulianku padanya? Apakah aku tak tampak menarik? Apakah aku harus melakukan operasi plastik?”
            Begitulah kau, bertahun-tahun menjadikan aku tempat bersandar saat kau merasa harus menangis sembari mempertanyakan adakah yang mau dan mampu menerima apapun adanya dirimu. Beginilah aku, bertahun-tahun mengusap air matamu yang sesungguhnya tak perlu kau tumpahkan. Andai kau tahu bagaimana aku telah menerimamu sebaik ibu menerima kehadiran anaknya lengkap dengan segala kenakalannya. Aku ingin menjadi seorang pelukis yang mengenal wajahmu hanya dengan melihat, bukan meraba seperti orang buta.
            Begitulah kau, bertahun-tahun tak juga membuatmu merasa cukup. Bahwa sempurna bukanlah hal yang dapat kau kecup. Bahwa saat kau terluka, hatikulah yang satu-satunya kuncup. Beginilah aku, bertahun-tahun tak pernah kau baca. Mungkin halaman terakhirku telah melipat dirinya sendiri sebagai pertanda bahwa segalanya mengenal sudah – dengan atau tanpa akhir bahagia.
            Setelah air matamu kering, seperti biasa kau mengantarku pulang dan tak pernah sampai ke rumah. Di tepi jalan malam itu, kau melepas helm untuk mengakhiri hari dengan ucapan terima kasih yang lesu, sementara aku sibuk memilih antara membalasnya dengan sampai jumpa atau hati-hati saja. Aku tak memilih keduanya. Lalu hujan deras menerpa dan dinihari terlalu kolot untuk mengenal mentari. 

            Begitulah kita yang terpisah oleh marka pertemanan. Dinihari menjadi waktu yang paling pas untuk kita memenuhi trotoar jalan tanpa harus takut kena tilang. Basah di pinggir kakimu harus kau keringkan. Jangan memijak kamar dengan membawa becak lumpur yang hitam. Lalu mengetuk pintu pulang dan membiarkan ibu terbangun dari rebahnya. Aku menuju kamar, menghabisi kantukku. Ranjang adalah tempatku berpulang ketika tidak ada hati untuk berpaut.
            Kantuk menyeret ilusi dan hal-hal paling melankolis. Dinihari yang terlalu meruput untuk menjemput mimpi. Mimpi dan realitas seperti tiada beda. Mereka selalu join. Keduanya tidak mampu menyatukan kita. Kau tampak getir di mimpiku. Membawa mawar yang tersayat durinya sendiri. Ia mati suri. Lalu, kau menanamnya di kebun belakang bersama belukar dan ilalang. Menjadikannya lapuk bersama debu halaman. Mawar tak lagi merah. Layu menjadi cakar bagi hatinya. Janganlah kau  menebar kasih pada setiap rembes hujan di hujung cerucuk atap. Seusai pagi merekah, aku nanar dalam menyimpul sikap. Bagaimana hausku rembes terlalu dini.
Siapa yang akan menolak binar matamu untuk bernyawa dalam mataku?