Tikus Gorong-gorong (Cerpen)

Dunia terbalik. Jarum jam berputar ke arah kiri. Orang dewasa merasa semakin kekanak-kanakan. Buruk dikebiri, baik tak jadi bahan berita. Fakta terdistorsi. 

Zaman sekarang banyak duit negara dikorupsi. Ditambah rakyat yang terlalu apatis terhadap agenda pemerintah. Sungguh abnormal. Rakyat memegang janji mereka yang sudah tahu nantinya akan dikecewakan. Petinggi negara pekerjaannya hanya membeo. Memantik fantasi di kalangan politik. 

“Saya melakukan itu untuk mengetahui seberapa besar hukum mengendalikan manusia.”, ucap seorang tokoh pengerat duit rakyat versi terbaru, kemarin siang di meja hijau. Fathon A.H. 

Banyak jalan yang dilakukan untuk menduduki kursi dewan. Entah apa yang dicari. Bukankah sulit menjadi generasi pemikir?

°°°
“Bagaimana dengan perkembangan negara kita?”
“Masih sama melankolisnya.”
Hari ini adalah sidang pertamanya berlangsung. Dia menganggapnya hanya sebuah undangan. Sidang pertamanya dilaksanakan di gedung raksasa hijau yang berlokasi di Kebayoran Lama. Hakim pasti sudah tidak sabar untuk mengupas tuntas kasus ini. Calon terdakwa membuat situasi menjadi melodramatikal. Juru berita memang tidak diperkenankan meliput jalannya persidangan. Di luar, mereka digauli rasa penasaran.
“Saudara Fathon A.H. atas kasus korupsi uang negara. Betul?”
“Betul, Yang Mulia.”
“Siapa saja pihak yang terkait dalam kasus ini? Ya semua orang pasti tahu kalau kasus ini tidak mungkin anda lakukan sendiri bukan?”
Dia terdiam di kursi terdakwa. Teringat lagi di memori otaknya tentang perjanjian itu. Jika satu nama terucap dari mulutnya, tamatlah riwayatnya. Perjanjian dengan salah satu oknum negara atas aliran dana yang kini jadi prahara di dunia politik. Mereka telah seiya sekata untuk memperbaiki taraf hidup dengan jalan yang salah. Berangkat dari mengantongi sebagian dari persentase uang negara. Mereka kenyang disuapi uang rakyat. Saat ini, praktisi negara menjadi serigala bagi rakyatnya sendiri.
“Tidak ada, Yang Mulia.” Kali ini suaranya terdengar agak sengau. Mungkin karena dihujani pertanyaan sejak awal kasus ini tersebar. Satu persatu pertanyaan dan pernyataan dieksekusi.
Sebenarnya percuma saja bertanya seperti itu. Sampai mulutnya berbusa pun, dia tetap tidak akan menyatakan kebenaran. Sama halnya menyuruh orang buta aksara untuk mencari sebuah buku. Nihil. Dia tampaknya menangis. Ah, itu akan keren kalau air matanya berubah menjadi darah. Begitulah jadinya kalau rakyat merasa terusik.
“Anda kan sudah tahu kalau pekerjaan anda itu berkaitan dengan uang. Kalau dari dulu sudah sadar iman anda lemah, mengapa anda mau mengambil kedudukan itu?”
“Saya rasa, iman bukan menjadi latar belakang kasus ini.” Jelasnya menapis pertanyaan Hakim.
Di sana terlihat pengacaranya melakukan berbagai pembelaan. Dengan aksen British-nya yang sedikit menunjukkan kalau beliau adalah sarjana lulusan universitas mancanegara. Mungkin universitas itu akan menjadi trend-setter di waktu dekat ini. Di kursi baris pertama, tampak istrinya memakai gincu berwarna merah merona. Kedua anaknya juga diajak ke persidangan itu. Mereka dalam sedu sedan.
Di dunia ini, baru Hakim itu yang berani menggertaknya. Andai saja Hakim itu bisa diajak berkompromi atau malah damai ditempat. Agaknya, mereka menciptakan paham yang berbeda di sepanjang persidangan. Juga sepasang gerahamnya yang mulai saling berpatukan. Di tambah microphone yang selalu mengarah ke mulutnya dengan sebuah tripod sebagai sanggahan.
“Lantas berapa persen uang yang anda terima?”
“Sekitar 70%, Yang Mulia.”
“O...kalau begitu ada orang lain yang menerima 30% itu. Bukan begitu?”
Mulutnya mengatup seperti ada jahitan benang di sepasang bibirnya. Pembicaraan mereka tidak pernah panjang. Atas pertanyaan yang dilontarkan tadi, Hakim mengartikan itu sebagai “ya”. Dia bak semut yang dilingkari kapur barus. Namun tetap berhasil keluar dari lingkarannya. Melenceng dari tanggung jawab yang sudah dipegang.
Kursi yang sudah didudukinya hampir satu jam itu pasti sudah mencapai titik didih. Hakim belum puas. Jaksa sepertinya akan membuat pernyataan. Terlihat saat ia mengarahkan microphone itu ke mulutnya.
“Menurut dokumen-dokumen keuangan yang diserahkan KPK, negara mengalami selisih antara penerimaan negara secara fisik dan catatan. Adanya praktik KKN bukan saja kemungkinan, tetapi memang sudah jelas Pak Hakim.”, tutur Jaksa.
“Saya tidak setuju, Yang Mulia. Dokumen negara bukan hal yang pasti valid dan terjamin kebenarannya. Bisa saja karena kelalaian saat menuliskan nominal sehingga menimbulkan selisih.” Jelas pengacara itu.
Pembicaraan mereka tidak saling bersua. Terlihat si terdakwa diam tanpa kata. Terdapat kesenjangan yang membuat sidang semakin pelik. Mereka layaknya lakon yang sentimental. Kerap kali menyela pembicaraan satu sama lain. Mengalahkan porsi bicara si tokoh utama. Jarang tercipta kata-kata sensasi dari mulut subjek cerita. Setidaknya untuk bumbu cerita. Hakim terus memancing calon terdakwa. Konflik mencapai klimaks.
Dia harus berhati-hati pada kata yang terucap. Sama halnya dengan siaran langsung, tidak bisa diedit atau dipotong di bagian tertentu. Jangan sampai kata-kata yang terlepas dari mulutnya menggigit lidahnya sendiri. Pita rekaman selalu berputar di dalam kasetnya. Sekali lagi, tidak bisa disunting.
Hakim terus menggojlok si terdakwa demi mendapat keterangan yang orisinil. “Yah, setidaknya kasus ini memberikan hakim itu pekerjaan”, gumam Fathon dalam hati. Setelah dirasa cukup, Hakim menyudahi persidangan itu. Sidang akan dilaksanakan dua hari lagi.
Seusai persidangan, juru warta sudah siap untuk mencuatkan bertubi-tubi pertanyaan untuk kasus yang dibayar mahal oleh pers. Sedangkan si subjek cerita membungkam mulutnya di media massa dan menerobos kawanan dari mereka. Ia memarang segala opini publik tentang kasusnya.

“Tikus-tikus berdecit
Saling jejal sampai kaki gemetar
Rakyat dijadikan anak tangga untuk capai ambisi
Perlu akurasi untuk mengevakuasi kebenaran
Memegang pusara negara
Pada garis haluan yang keras,
tapi melempem di dalam
Untuk apa ada empat pilar?”

Untung saja, mobilnya tidak disita KPK. Itu adalah harta kekayaan satu-satunya yang diperoleh dari hasil jerih payahnya saat masih menjadi anggota TNI. Istri dan kedua anaknya yang tadi hadir di persidangan juga pulang bersama. Mereka masih bisa mendengarkan lagu-lagu lawas yang sempat terkenal di era 80-an. Hari demi hari terasa berat baginya. Lebih berat daripada memikirkan utang yang belum dilunasi sejak tiga kali masa gajian. Mereka telah sampai di kediamannya yang kini telah dipasangi pelat penyitaan atas nama KPK. Mau bagaimana lagi? Prioritas publik harus diutamakan. Malam ini tidur di mobil tidak mengapa. Esok, dititipkannya istri dan anak kepada mertua untuk waktu yang entah sampai kapan. Mungkin ini sudah suratan tangan Tuhan.
Tepat dua hari setelah sidang pertama dilaksanakan, kini dia datang lagi ke gedung itu. Dia mulai terlihat seperti penjelajah ulung. Kerap kali dia mengitari jalan-jalan di daerah itu. Ada beberapa pengguna jalan yang mengeluh karena macet. Menyalahkan jalan yang semakin sempit karena ekspansi dari wilayah permukiman. Padahal itu semua karena jalan yang mereka penuhi sendiri dengan mesin beroda yang semakin membabi buta.
Baginya, untuk apa absen di persidangan. Hanya semakin memperlama proses persidangannya saja. Dengan gamangnya ia menatap lantai gedung. Juru warta sudah menunggu kehadirannya. Bersama lampu blitz yang terus diarahkan ke wajahnya, pengeras suara berlabel stasiun TV dan alat perekam suara. Langsung saja beberapa polisi mengawalnya sampai ke depan pintu sidang. Dia duduk di kursi itu lagi. Tertegun sebentar, membayangkan kapan akan dikenakan padanya baju tahanan itu.
Hari ini peserta yang hadir di ruang itu tidak begitu banyak. Jumlahnya tidak lebih dari ¾ dari orang yang hadir di sidang pertama. Mungkin mereka bosan melihat kebohongan yang keluar dari mulutnya. Di sana juga nampak fraksi-fraksi sosial. Hakim sudah siap dengan catatan-catatan pertanyaannya. Palu diketukkan ke mejanya. Meja yang tidak pernah hancur walaupun sudah banyak hantaman yang dilakukan si Hakim. Tiba-tiba miliaran air berkejaran jatuh ke bumi. Mereka terdengar seperti berbisik.
“Bagaimana tempat tidur baru anda? Mana yang lebih empuk antara yang sekarang dan ranjang yang dibeli pakai uang negara?”, ucap Hakim mengawali pembicaraan.
Ia hanya menelan ludah. Kata-kata Hakim itu sungguh sarat makna, seperti pidato presiden yang bila disiarkan di televisi pasti memotong jatah penayangan suatu program yang sedang berlangsung. Uang belanja negara memang penting. Kita tidak bisa mengurangi tingkat konsumtif masyarakat. Gedung-gedung parlemen yang pembangunannya sudah hampir rampung tidak bisa dicukupkan begitu saja. Rusunawa yang terlihat seperti rumah kontrakan dikemas lebih menarik dan efisien. Negara harus produktif untuk dapat dianggap maju.
“Tolong ceritakan kronologi kejadian menurut versinya. Sejak kapan kasus ini mulai dimainkan?”
“Kalau tidak salah, 2½ tahun setelah saya memangku jabatan ini.”
“Jadi, kasus ini dimulai selagi KPK sibuk mengurusi kasus Hambalang?”
“Begitu sekiranya, Yang Mulia. Saya sudah mengkalkulasikan rencana tersebut sebelumnya.”
Kemudian, Jaksa mengangkat tangannya. Ia akan memamerkan ilmu-ilmunya. Layaknya para akademisi yang selalu mencetuskan filsafat-filsafat tanpa mengetahui kebenarannya.
“Menurut saksi yang ada, dia melihat pertemuan antara saudara dan satu orang lain yang masih samar sosoknya. Siapa dia?”
“Dia rekan saya. Kami hanya sebatas bertemu untuk menyambung tali persaudaraan dan bercengkerama sebentar.”
“Benar, Yang Mulia. Beliau adalah mantan kolega Pak Fathon.”, tambah pembela.
Dari mana pula Pengacara itu tahu apa yang Pak Fathon dan orang itu rembuk. Berapa uang yang Ia terima sampai Ia berani mengatakan kebohongan?
Kesaksian yang diberikan Fathon A.H selalu bertolak belakang dengan berita acara yang sudah tertulis. Hakim masih berusaha mencari kebenaran cerita. Calon terdakwa semakin gugup dicecar pertanyaan oleh Hakim.
“Lalu, kejadian yang sebenarnya dilakukan di mana?”
“Rumah saya”, jawab Fathon.
“Berarti keluarga anda mengetahui kejadian ini?”
“Tidak, Yang Mulia. Kami membicarakan bisnis itu di ruang kerja saya.”
“Lalu apa saja yang dibicarakan?”
“Kami hanya merundingkan pembagian jatah, sasaran untuk dijadikan pengecoh, dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai aksi kami.”
“Mengapa rekan anda hanya memeroleh 30% saja? Apakah itu hanya sebagai uang tutup mulut?”
“Tidak. Kami melakukannya bersama-sama, Yang Mulia. Dia tidak terlalu berperan dalam kasus, sehingga mendapat bagian sedikit.”
“Apa beliau membagi kembali 30% itu?”
“Saya kurang tahu, Yang Mulia.”
“Apakah dia termasuk orang dalam parlemen? Di posisi mana kedudukannya dalam kabinet?”
“Saya tidak tahu, Yang Mulia.”
Jika digambarkan dengan kurva, sebenarnya pemasukan APBN pada kasus ini tidak menunjukkan perbedaan yang begitu signifikan. Tetapi, perkara tetaplah perkara. Itu semua bukan karena mereka tidak becus mengelola uang negara, hanya saja mudah terusik dengan kelaliman. Mereka meminta rakyat menuruti hukum, tapi bagaimana dengan mereka sendiri? Apa relevansinya hukum dengan kemanusiaan? Birokrasi digonta-ganti seolah-olah negara ini tidak punya harga diri.
Kendatipun, banyak oknum yang dengan gamblangnya melakukan itu. Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 seakan-akan hanya menjadi formalitas. Lagipula jika rakyat sesumbar di media dan di berbagai aksi demonstrasi, tetap saja aspirasi rakyat tidak didengar. Sungguh nahas negara ini.
Setelah berbagai pertanyaan yang dilontarkan, Hakim akhirnya mengakhiri sidang itu. Jaksa segera memberikan vonis. Hakim segera mengambil keputusan. Ia mengangkat palu dan mengetuk meja sidang. Pak Fathon resmi menjadi tahanan rutan. Vonis hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp150.000.000,-. Ia dijerat pasal 12 a atau b, pasal 5 ayat 2, atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999. Mungkin sebentar lagi istrinya akan datang ke pengadilan itu juga. Tentunya pulang dengan membawa surat cerai dan sertifikat harta gono-gini di tangannya.
°°°
Dengan tergopoh-gopoh Ia duduk di dalam besi. Polisi itu mengantarkannya ke suatu bilik tahanan di sana. Ruangan itu juga bukan VIP yang biasa diperuntukkan kalangan berkelas. Sekarang, di sel berukuran 3x4 meter itu, dia menghabiskan sisa hidupnya. Mungkin di penjara nanti dia akan lupa hari apa sekarang dan kapan ulang tahunnya sendiri. Bahkan berita tentang dirinya di televisi tidak sempat Ia tonton. Seragam khusus anggota rutan ini seperti membedakan mereka dengan dunia luar, dunia yang bebas. Secara sporadis muncul anggota baru dalam kandang itu. Para petinggi negara juga.
Seorang lelaki tua berseragam cokelat berkacak pinggul sambil sesekali menatapnya. Pin yang menempel di seragamnya menunjukkan pangkat yang dimilikinya. Lelaki tua itu selalu melepas topinya jika panas menerpa. Duduk di depan mesin tik sambil sesekali menyeduh kopi. Menikmati udara malam kadang memancing rasa kantuk. Petugas jaga jam malam sudah datang, dan segera menggantikan pekerjaan si lelaki tua tadi. Sedangkan di lantai beralaskan tikar, para narapidana mulai terlelap.
Di masa transisi yang membutuhkan banyak uang ini, uangnya malah dikeruk habis-habisan oleh para koruptor. Rakyat digertak untuk membayar pajak-pajak negara demi mencukupi anggaran belanja negara. Tapi akhirnya habis untuk pelesir dan hura-hura. Kejujuran telah mangkat dari nurani mereka. Semakin uzur semakin tidak dapat dipercaya. Bagaimana paradigma membentuk citra subjektif seseorang. Lupa pada janji yang mereka ikrarkan atas nama Al-quran ataupun Injil.
Tugas yang diemban sekarang sudah menimbulkan kemajuan yang melamban. Ingin menjadi negara maju, tetapi asas yang fundamental saja tidak bisa dibenahi. Semakin sulit saja cita-cita itu tercapai. Di arena penuh kriminalitas ini, banyak sikap-sikap buruk yang sulit dinetralisasi. Mata hijau akan berakhir di meja hijau. Masih beranikah mengatakan uang itu segalanya?
Tiba-tiba suasana menjadi gaduh. Ada segerombolan wartawan yang ingin meliput kasusnya. Para petugas kepolisian yang kewalahan itu menyuruh mereka pergi. Dia hanya duduk bersila dan menganggapnya sebuah tontonan. Dia bukan orang gedongan lagi. Harta hasil raupannya sudah dikembalikan kepada negara. Jajaran legislatif bukan jaminan. Salah satu harapannya hanyalah remisi saat mendekati Hari Raya. Ataupun orang berhati mulia yang bersedia menukarkan uangnya untuk sebuah kebebasan. Penjara akan menjadi masa depannya. Entah akan setua apa saat dia keluar dari jeruji besi itu.
Membinasakan korupsi berarti membunuh kolusi dan nepotisme juga. Dunia dengan kemajemukan karakter harus mampu melakukan integrasi atau pembaruan hingga menjadi kesatuan yang bulat. Koruptor mungkin lebih cocok disebut tikus gorong-gorong. Hidup di tempat yang kotor dan menjijikkan. Semua pemberantasan itu untuk membangun negara yang mahardika. Sejauh-jauhnya koruptor berlari dari kejaran polisi, dia tetap tidak bisa bersembunyi.
Negara demokratis tidak mungkin membiarkan rakyatnya terbengkalai oleh skandal korupsi. Katanya negara ini menganut otonomi daerah yang sentral. Tetapi yang ditemui tetap sama. Kebijakan hanya milik pemerintah. Sanksi sosial mungkin akan lebih mujarab. Seperti memiskinkan koruptor dan mengasingkannya dari lingkungan masyarakat.
Kalau pengamatan kita tidak sempit, sebenarnya banyak kasus suap yang dikirim melalui transfer bank atas nama nasabah orang lain. Pada akhirnya, tidak ada bukti fisik yang bisa diajukan ke pengadilan. Tidak ada bukti maka dikatakan tidak bersalah. Mereka berkeliaran di luar sana.
Ada pengulangan dan ambiguitas pada landasan negara kita, Undang-Undang Dasar 1945. Sepertinya ada beberapa bagian yang harus direvisi dan diamandemen lagi. Jangan hanya asal menambah pasalnya. Itu saja masih sulit ditaati, apalagi kalau ditambah. Kejanggalan jika dibiarkan akan semakin mendarah daging. Orang kosmopolitan harus jeli saat mengubah pertimbangan menjadi solusi.
Negara tidak boleh merebahkan diri terlalu lama. Kita harus bangun dari mimpi yang terlalu sangar ini. Kepemimpinan yang bengis harus dilengserkan. Negara darurat kejujuran. Padahal, yang dibutuhkan negara ini hanyalah sebuah kesepadanan.
°°°