Bagian I
Adakalanya waktu kerap tersita untuk mengenang
Mengingat kembali kata-kata yang begitu saja terungkap
dari mulutmu.
Apakah kau ingat? Dulu kita
pernah sepakat untuk bertahan
karena kita begitu takut merasa
kehilangan
Tetapi kita tetap tak bisa lolos
dari perselisihan dan cengkeraman luka.
Dan caramu menyikapinya..
seolah menyerah pasrah dengan mudah,
bergantung pada kata terserah.
Mengapa kita tak coba berdiskusi, daripada memilih menyingkir?
Mengapa kau tak mau menengok sebentar saja untuk tahu
pendapatku?
Mengapa harus berprasangka jika kita bisa bertanya?
Kau tahu aku selalu memberimu kesempatan dan telinga,
Karena aku yakin penjelasan bisa meruntuhkan praduga.
Untukmu yang memilih pergi, apakah kau benar-benar
mencintaiku?
Karena kepergianmu membuatku menyangsikan itu.
Bagian II
Hari ini, pukul 19:48
dan cangkir kopi keduaku,
Pahit-sakit yang berulang-kali kuteguk.
Aku mendengarkan lagu kesukaan
kita.
Dan menyesal mengapa air mata
harus menetes.
Aku terus melarikan diri dari rasa
kehilangan.
Aku tak baik-baik saja.
Aku lelah berkali-kali kau patahkan.
Di teras rumah ini,
Masih saja kuharapkan kau bertamu lagi.
Bagian III
Aku yakin kau akan menemukan seseorang dari kesendirianmu
Yang bisa menghadiahimu canda juga tawa
Kau akan melupakanku dan berbahagia bukan?
Meskipun sebenarnya aku tak benar-benar ikhlas melepaskan.
Saat ada yang hilang dan pergi,
akan ada tangis untuk meluruhkan luka.
dan harus ada pengganti untuk setiap sekat yang dicuri.
Benar begitu bukan?
Tapi sepertinya ini tidak berlaku untukku yang sering payah
melupakan.
Jika aku bukan takdirmu
Mari kita berjanji,
Di kehidupan selanjutnya, kita akan menjadi sepasang
kekasih dan menua bersama.
Di kehidupan selanjutnya, aku tak ingin kalah lagi.
Ditulis pada sebuah malam minggu yang kelabu.
Yogyakarta, 22 Agustus 2020.