Sinterklas Tak Ulang Tahun Pada Hari Natal


Dahulu aku sempat percaya kalau Sinterklas itu ada. Ya, ketika aku masih seorang bocah berkepala kosong yang rentan sekali terhasut film-film barat. Bocah polos yang tidak tau kalau Sinterklas adalah budaya hasil ciptaan manusia yang hulu-hilirnya saja luput dari halaman wikipedia.


Film-film itu memiliki skenario sama. Sinterklas akan masuk lewat cerobong asap dan meninggalkan hadiah di bawah pohon natal. Suatu skenario yang sangat tidak cocok bagi warga negara iklim tropis. Di sini cerobong asap hanya ada di pabrik-pabrik. Tidak ada salju, tidak ada yang cukup menciptakan bara seperti dalam frasa “jatuh cinta”.



Pernah suatu ketika seorang bocah bergidik ketika melihat Sinterklas di suatu pusat perbelanjaan. Mungkin di mata bocah itu Sinterklas ya badut. Hanya saja orang-orang lebih takut dianggap menistakan. Suatu kontrol yang menurutku menghambat revolusi dan mematikan rasionalitas manusia.



Meski sudah tahu kalau Sinterklas hanya mitos, tetap saja aku kecewa dengan bualan itu. Tokoh semacam itu membuatku melupakan esensi natal yang sebenar-benarnya; merayakan ulang tahun Tuhan. Sedangkan di gereja ku lihat bocah-bocah lebih antusias mendapat hadiah dari Santa. Tapi dalam kasus ini Tuhan tampak berbeda. Ia bukan sosok − yang kudengar dari banyak orang dan kubaca dari alkitab  pencemburu dan posesif.




Yogyakarta, 4 Desember 2018.

HANYUT



Hujan bulan Juni menelan percakapan kita yang keki.
Di sudut ruang, hujan rembes bersama gigil. Kaca jendela lebih terkatup, mungkinkan jantungmu semakin letup? Atau mungkin kau lebih takut perciknya masuk saja.

Kau menceritakan kelumit kisahmu, tapi aku sibuk mengutip senyummu. Lalu aku luruh di dalamnya. Aku sepertinya bukan pendengar yang baik untuk kau titipkan cerita.

Aku ingin angin menutup kosongnya ruang itu. Sehingga kita bisa lebih rapat. Aku ingin kita menyadari jika hujan sebenarnya hangat, jika kita saling hanyut.


Yogyakarta, 11 September 2018.