Lalu Hujan Deras Sekali (dengan sedikit gubahan)

Karya: Andi Gunawan


            Dinihari ialah seni mengingat; satire yang tumbuh di bibir-bibir para pencibir.
            Sore itu, kau adalah berita dalam televisi yang mudah diduga bagaimana akhirnya, sementara aku penonton setia sebab kadang-kadang terlalu banyak pilihan sama dengan tak ada pilihan lain. Secara saksama, kudengar-lihat bagaimana kau memberitakan kronologi peristiwa yang kau tolak sebagai repetisi dan peranku bertambah satu di sini—penonton yang seolah bodoh dan harus tercengang menyaksikan siaran kabar tentang kejadian tipikal.
            Kau selalu memulai dengan cara yang itu-itu lagi. Pertama, kau akan menyampaikan prolog membosankan tentang bagaimana kau bertemu mantan kekasihmu. Kedua, dengan sangat berbinar, kau ungkit segala baik dan mengabaikan keburukan yang lebih banyak kau telan darinya. Ketiga, seperti biasa kau akan menutupnya dengan pertanyaan, “Mengapa ia tega meninggalkan aku?”
            Kemudian, bagian yang telah kuhafal, kau akan menatap langit ruangan dengan pendar matamu yang berperan sebagai sepasang mata paling terluka di dunia. Lalu tangismu pecah disusul pertanyaan-pertanyaan sialan, “Apakah aku terlalu gemuk untuknya? Apakah aku lawan bicara yang membosankan? Kalau iya, apa sebabnya? Mengapa ia bertingkah tak peduli atas segala kepedulianku padanya? Apakah aku tak tampak menarik? Apakah aku harus melakukan operasi plastik?”
            Begitulah kau, bertahun-tahun menjadikan aku tempat bersandar saat kau merasa harus menangis sembari mempertanyakan adakah yang mau dan mampu menerima apapun adanya dirimu. Beginilah aku, bertahun-tahun mengusap air matamu yang sesungguhnya tak perlu kau tumpahkan. Andai kau tahu bagaimana aku telah menerimamu sebaik ibu menerima kehadiran anaknya lengkap dengan segala kenakalannya. Aku ingin menjadi seorang pelukis yang mengenal wajahmu hanya dengan melihat, bukan meraba seperti orang buta.
            Begitulah kau, bertahun-tahun tak juga membuatmu merasa cukup. Bahwa sempurna bukanlah hal yang dapat kau kecup. Bahwa saat kau terluka, hatikulah yang satu-satunya kuncup. Beginilah aku, bertahun-tahun tak pernah kau baca. Mungkin halaman terakhirku telah melipat dirinya sendiri sebagai pertanda bahwa segalanya mengenal sudah – dengan atau tanpa akhir bahagia.
            Setelah air matamu kering, seperti biasa kau mengantarku pulang dan tak pernah sampai ke rumah. Di tepi jalan malam itu, kau melepas helm untuk mengakhiri hari dengan ucapan terima kasih yang lesu, sementara aku sibuk memilih antara membalasnya dengan sampai jumpa atau hati-hati saja. Aku tak memilih keduanya. Lalu hujan deras menerpa dan dinihari terlalu kolot untuk mengenal mentari. 

            Begitulah kita yang terpisah oleh marka pertemanan. Dinihari menjadi waktu yang paling pas untuk kita memenuhi trotoar jalan tanpa harus takut kena tilang. Basah di pinggir kakimu harus kau keringkan. Jangan memijak kamar dengan membawa becak lumpur yang hitam. Lalu mengetuk pintu pulang dan membiarkan ibu terbangun dari rebahnya. Aku menuju kamar, menghabisi kantukku. Ranjang adalah tempatku berpulang ketika tidak ada hati untuk berpaut.
            Kantuk menyeret ilusi dan hal-hal paling melankolis. Dinihari yang terlalu meruput untuk menjemput mimpi. Mimpi dan realitas seperti tiada beda. Mereka selalu join. Keduanya tidak mampu menyatukan kita. Kau tampak getir di mimpiku. Membawa mawar yang tersayat durinya sendiri. Ia mati suri. Lalu, kau menanamnya di kebun belakang bersama belukar dan ilalang. Menjadikannya lapuk bersama debu halaman. Mawar tak lagi merah. Layu menjadi cakar bagi hatinya. Janganlah kau  menebar kasih pada setiap rembes hujan di hujung cerucuk atap. Seusai pagi merekah, aku nanar dalam menyimpul sikap. Bagaimana hausku rembes terlalu dini.
Siapa yang akan menolak binar matamu untuk bernyawa dalam mataku?

Untukmu yang Akan Menikah

Di siang yang terik dan pelik
Kau biarkan aksaramu menjadi larik puisi
Lalu angin mengobrak-abriknya
menjadi layang-layang tanpa temali
Seekor pipit melihat kutukmu
yang balau pada puisimu
Kau menulisnya tanpa bicara
Kau basahi lagi kertas itu hingga nyaris sobek
Sementara muara tumpah dari kantung matamu.
Yang terhormat. Ananda yang sedang dipingit.
Nikmati sepimu yang lilit.

MIKIR (Cerpen)


           Pada realitas masyarakat, orang-orang cenderung tidak memunyai rasa memiliki negaranya sendiri. Padahal negara adalah rumah kita. Hanya dengan melihat secara sekilas saja sudah sangat menggambarkan identitas dan kebanggaan nasional yang kering. Rakyat seolah berjalan tanpa pegangan.
        Albert Konner, begitu orang tuaku menamaiku. Sebagai “juru foto”, aku merasa disodori bisik-bisik negatif dari negara tetangga. Sungguh, negara yang gegabah dalam memimpin rakyatnya akan melahirkan generasi-generasi yang senang mengumpat. Akankah rakyat ini membiarkan negaranya menjadi bulan-bulanan negara lain untuk menitipkan ide-ide mereka? Sedangkan kita masih berpikir secara tradisional di zaman yang modern ini.
        Partai-partai politik bermunculan dan jumlahnya mencapai kepala dua. Di balik itu semua, ada tim sukses yang bersembunyi.
“Ketua partainya gagal, tapi timnya tetap sukses. Semoga saja pidato yang dibacakan di depan rakyat bukan hasil karya tim suksesnya.”, pikirku.
Mereka melakukan pencitraan sana-sini untuk mencari simpati. Tiba-tiba melakukan blusukan menjelang pemilu, dan segala macam embel-embelnya. Mereka tidak tahu bahwa ada yang lebih penting dari sekadar pamer teknik. Pidato ketua partai tidak jadi jaminan Ia akan memimpin dengan baik.
Presiden tidak seharusnya memikirkan hal-hal berat diusianya yang lebih dari setengah abad itu. Usia yang nyaris tidak produktif lagi. Pemimpin kita saat ini terlalu payah untuk menutupi pundi-pundi matanya yang membengkak.
“Menangisi cibiran atau mungkin tidak tidur semalaman untuk menyelesaikan dokumen-dokumen negara? Ya, dokumen yang beberapa tempo lalu hampir dilalap api.”, gumamku.
“Apakah berusia lanjut berarti memiliki banyak pengalaman dan inteligensi yang semakin matang? Bagaimana kalau dia sudah pikun? Bagaimana kalau dia telah melupakan segudang ilmu yang dilambangkan dengan gelar yang dicantumkan pada namanya itu?”, lanjutku dalam hati.
Orang seumuran dia yang lain malah sudah duduk-duduk di kursi santai. Menikmati bintang gemintang yang tidak pernah bercerai dengan malam.
“Saya pikir dengan menjadi presiden tidak membuat orang jadi sukses dan berduit banyak. Gaji pengusaha sekarang malah menyaingi gaji presiden. Bahkan melampau jauh. Paling-paling menduduki jabatan itu hanya beroleh sunggingan bibir dan senyuman sinis dari masyarakat. Tentu saja itu tidak akan terjadi kalau kepemimpinannya bersih.”, timpalku lagi.
***
Rakyat memilih diam, tapi pengamat politik menganggap mereka apatis dan tidak kritis. Rakyat berbicara, tapi dituduh mencemarkan nama baik. Aku merasa emosiku meluap-luap dan tumpah ke luar.

“Lalu apa standar kemanusiaan yang tepat?Apakah menguak kebenaran dinilai salah bagi pemerintah?”

“Aku tidak pernah iri karena tidak menjadi mereka. Untuk apa?


Benih-benih demokrasi mereka nikmati sendiri. Mereka yang seharusnya menginginkan kehidupanku yang damai.
        “Sepertinya negara ini tidak bisa mendengar aspirasi yang terlalu klise, perlu kata-kata yang lebih teoritis untuk membuka telinga mereka yang tersumpal.”, aku menyalak.


ketika-tangan-bicara.jpg***

Zaman sekarang banyak rapper yang menyampaikan kritik lewat lagu bertema politik. Mereka pikir mungkin pemerintah tidak bisa memahami liriknya. Mereka terlalu lamban untuk mengikuti syairnya. Bicara soal syair, aku tidak mau menyalahkan menteri negara yang tidak hafal lagu Indonesia Raya.
“Yahh… Sepertinya itu sama saja dengan anak sekolah yang tidak hafal lagu mars sekolahnya sendiri.”
Sesuatu tiba-tiba terbesit dalam di pikiranku. “Rasanya Tuhan menciptakan mulut untuk berbicara. Tapi, para petinggi negara seolah membungkam mulut rakyatnya sendiri. Mereka menyumbat mulut-mulut orang kecil dengan uang yang tidak seberapa bagi orang kaya.”
Aku berkata lagi, “Rakyat kecil jadi sasaran terus-menerus. Mungkin, pemerintah pikir mereka akan menyampaikan keluh kesahnya melalui demonstrasi. Media melirik aksi dan berita itu tersebar ke segala penjuru. Kemudian citra presiden menjadi buruk di mata rakyat.”
Presiden akan kotar-katir melihat protes rakyat. Bertambahlah satu helai uban pada rambutnya. Aku harap dia tidak menutupinya dengan pewarna rambut. Aku tertawa cekikikan. Tentu saja aku tidak mendoakan pemimpin kita cepat mati.

***

        Pro kemajuan tapi malas berusaha. Siapa lagi kalau bukan diri sendiri?
        “Dunia sudah berubah, tidak seperti dulu. Dulu golongan mudalah yang mengoprak-oprak golongan tua pada peristiwa di Rengasdengklok. Sekarang, anak muda lebih memilih dunia bermain yang mereka pikir lebih megah dari dunia politik.”
        Aku menghidupkan sosok dalam imajinasiku. Ia membakar dirinya dalam bara api yang menyala-nyala penuh arti. Lalu mulai menyahuti ucapanku.
        “Rakyat dan pemerintah seperti memiliki dunia sendiri. Masing-masing tinggal dalam kontemplasi ruang isolasi.”
        Kami terus bersahutan hingga senja menyela percakapan kami. Ibu memperingatkanku untuk pergi ke meja makan dan merakusi hidangan malam itu. Aku terbangun dari posisi bertongkat tangan di kamar.
        Di meja makan. Masih seperti biasa.
        “Kamu kalau makan yang seimbang. Jangan banyak lauknya gitu.”, kata Ibu.
        Perkataan Ibu saat itu membuatku menganalogikannya dengan kehidupan negara ini. Kita butuh porsi ideal untuk mengatur jatah bicara. Tujuannya agar tidak ada bersitegang di antara kita. Lalu aku melahap hidangan itu tanpa kenal ampun.
        Ayah tidak datang dalam perjamuan makan malam itu. Dia masih lembur. Hanya ada aku, Ibu, dan Bibi Baekuni. Kami bercengkerama seperti ibu-ibu merumpi. Memang tidak sopan berbicara selagi makan. Tapi, toh tidak ada hukumnya, kan? Ya. Norma kesopanan hanya akan menjadi norma yang tidak tertulis di negara ini. Atau mungkin di negara lain juga begitu?

***

        Aku pergi ke ruang keluarga, menyalakan televisi. Ada berita presiden terlibat kasus suap.
        “Aku tidak akan memilih partai itu periode berikutnya. Untuk apa menaruh kepercayaan pada partai itu lagi jika sudah tahu begini?”
        Meskipun aku tahu tak ada perubahan yang bisa diharapkan dari hanya mencela. Di sisi lain, petinggi negara ketakutan mencela teman sendiri atas praduga buruk. Mereka membiarkan diri mereka bersahabat dengan setan. Sementara korupsi beranak cucu. Tidak ada lagi yang bernyali besar selain orang-orang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
        Kembali ke tayangan televisi. Pemilik industri marah-marah menyalahkan turunnya rupiah, tanpa bisa berbuat apa-apa untuk membuat rupiah stabil kembali. Loncat beberapa stasiun televisi, ada berita pembunuhan. “Seorang Ibu tega membunuh anaknya sendiri.”, begitu tagline yang kubaca di layar televisi.
        “Untuk apa ada berita tentang kejahatan bila hanya membuat penontonnya menebar caci?”
        Aku melihat seorang Ibu dengan kerut-merut di dahinya yang cukup menggambarkan usianya.
“Mengapa Ia memberikan penjelasan pada polisi itu sembari sesenggukan? Lebih baik Ia tamatkan dulu saja air matanya.”, komentarku agak ketus.
      Aku membayangkan akan ada banyak orang yang akan menghujatnya jika mereka menonton siaran ini.
        “Andai saja televisi hanya memberitakan kabar baik. Mungkin otak manusia tidak serusak sekarang. Pembunuhan, penembakan, teror, penganiayaan, minuman keras telah meradang dan menjadi kebiasaan. Seolah-olah hal semacam itu telah diprogram di otaknya.”
        “Itu juga tidak semata-mata karena salah media, Konner. Tapi pengaruh budaya barat yang masuk tanpa permisi dan rakyat juga menerimanya mentah-mentah. Mereka melegalkan senjata dan membiarkan rakyatnya mahir menembak tanpa harus menjadi anggota kepolisian. Lagipula, hura-hura di negara barat sudah menjadi tradisi.”, sergah Ibu.
        Aku mencari sumber suara itu. Entah datangnya dari mana. Ibu segera duduk di sampingku, ikut menikmati hiburan televisi. Aku membuka pembicaraan.
        “Ibu besok kerja lagi?”
        “Iya. Ibu kan cuma ambil libur sehari saja.”
    Aku khawatir dia akan kehilangan jiwa keibuannya. Tapi aku bahagia karena Ia masih memunyai rasa memiliki. Walaupun sedang ambil absen di kantornya, dia tetap beres-beres rumah. Dia tidak mau kalau Bibi Kuni―begitu aku memanggilnya agar lebih singkat―malah lebih tahu di mana letak perabot rumahnya dibanding dirinya sendiri. Jangan sampai majikan membabukan diri.
        Aku meninggalkan Ibu, pergi ke balkon. Aku melihat seorang pengemis pulang dari menengadah seharian. Anak kecil yang tempo hari kuajak bicara sebentar. Kemiskinan masih membuat Indonesia menjadi negara berkembang, tidak lepas dari kehidupan di jalanan yang sehari-hari diliputi rasa was-was. Aku sedikit beringsut dari posisi sebelumnya. Tampak handuk yang basah terkena keringat menggantung pada tengkuk pengemis itu. Terbesit dalam raut mukanya sebuah kesedihan. Ia sesekali melihat botol aqua pada genggamannya yang tidak terisi penuh. Aku melihat pengemis itu melewati jalan kecil di depan rumahku. Aku mengikutinya dengan pandangan mata. Sampai sosoknya hilang di lekukan jalan.
        “Akankah Ia kena damprat orang tuanya setibanya di rumah nanti?”
        Anak kecil itu tampak terbirit-birit dikejar malam. Tapi dalam hati, sepertinya Ia tak ingin pulang. Takut diomeli mungkin.

***

Udara malam mulai adem. Kali ini aku sudah ada di kamar. Kembali dalam termenung.
“Harus berani kotor dan belajar untuk bisa maju. Pendidikan bisa mengubah pola pikir masyarakat yang serba apa adanya. Kalau setiap orang memikirkan sesuatu yang orang lain tidak pikirkan, mungkin Indonesia akan didominasi oleh ide-ide baru. Pemimpin tinggal mempertimbangkan ide-ide itu dan kemudian membantu merealisasikannya.”
“Kalau memang rakyat dan pemimpinnya malas berpikir, berarti kita telah mengizinkan diri untuk diperbudak oleh ilmu pengetahuan.”, aku berkata lagi.
        Aku terus bercakap-cakap dengan sosok lain dalam diriku sendiri. Kami selalu sepemikiran, tidak ada silang pendapat.
Kita bisa melihat profil bangsa dengan melihat figur pemimpin. Kita semua memiliki negara ini. Belum punya KTP bukan berarti belum sah menjadi warga negara kan? Tanpa rasa memiliki apalah arti semua? Lebih baik jual saja negara ini pada negara komunis yang tak ber-Tuhan.
“Kalau negara berantakan, apakah kamu yang bereskan atau main suruh?”, begitu lirik lagu yang barusan kudengar.
Gelap menjemput dan mengantarku ke pembaringan. Tapi bukan peristirahatan terakhir.

***

Ibu sudah rapi dengan pakaian kantornya. Seperti biasa, Ia akan pulang menjelang petang. Aku rasa Ibu cukup perhatian karena sudah menyiapkan sarapan. Walaupun instan, tapi dia sudah mengoleskan selai cokelat pada dua tangkap roti di meja makan. Giliran Bibi Kuni yang menyiapkan segelas susu. Aku menghabiskan pagi ini tanpa cerita. Liburan semester ini membuat hari-hariku dipenuhi waktu luang. Beberapa semester lagi aku bisa memperoleh gelar sarjana hukum yang selama ini aku janjikan pada Ibu.
        Ayah pulang dengan tubuh yang letoi dan wajah seperti diserang kantuk habis-habisan. Rupanya Ia baru tidur subuh tadi. Perawakannya tidak bisa menutupi kelemahannya. Ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 07.10 pagi. Ayah datang tanpa dasi melingkar pada lehernya. Ia meletakkan seluruh barangnya. Lalu pergi mandi.
        Dia bermalam di kantor menyelesaikan tugas-tugas administrasi. Dari situ aku bisa melihat gambaran kesibukan seorang pemimpin negara.
“Apakah presiden kita tidak pernah meninggalkan meja kantornya bahkan hanya untuk makan siang?”
Ayah menyapaku sebentar. “Kamu sudah makan, Ner?”
“Udah, Yah. Kenapa semalam nggak pulang Yah?”
“Biasalah, Ner. Urusan kantor.”
Sudahlah. Kubiarkan saja dia beristirahat. Aku tidak ingin terlarut dalam percakapan yang terlalu panjang. Lagipula matanya sudah sayu dan merah.

***

Bukan wajah tegas yang ingin aku lihat pada sosok seorang pemimpin. Tapi selongsong senyum yang ikhlas. Selama ini yang kulihat hanya gambaran tensi yang tinggi dari wajahnya. Begitupula pada wajah Ayah.
Rakyat merasa lebih tahu dari pemerintah. Ada keganjalan yang pemerintah buat. Mereka diam-diam menyimpan agenda.
“Bagaimana rakyat tidak curiga jika tidak ada keterbukaan di antara mereka?”
“Selama ini kita selalu menyorot pemimpin karena merasa negara berada di tangannya. Tanpa kita sadari bahwa kita telah mengizinkan petinggi negara mengkhianati negaranya sendiri. Di balik itu semua, kita juga merasa ada praktik nepotisme yang  bersarang pada negara kita.”, tambahku lagi.
Ayah berangkat lagi ke kantor siang ini dan pulang jam lima sore. Tidak terasa langit lebih cepat gelap hari ini. Beberapa jam kemudian Ayah pulang. Keluar dari kendaraan berpintu empat. Ayah langsung duduk di sampingku.
“Sore yang meruput ya, Ner. Mari kita seruput kopi!”, kata Ayah sambil merangkul pundakku.
Aku tahu. Hanya kopi yang dapat mengusir rasa kantuknya. Lalu aku dan Ayah menikmati kopi sekaligus matahari yang merangkak di langit ke arah barat. Berjalan melipir di atap rumah.
“Ibu pulang..!”
Itu pasti suara Ibu.Aku tahu persis itu suaranya. Ya. ASI yang dia berikan kepadaku cukup membangun ikatan batin di antara kami.
“Aku harap aku tidak memiliki naluri binatang. Asal kalian tahu saja. Aku menyusu pada hewan lebih lama daripada dahulu aku menyusu pada Ibuku.”





SELESAI

Tikus Gorong-gorong (Cerpen)

Dunia terbalik. Jarum jam berputar ke arah kiri. Orang dewasa merasa semakin kekanak-kanakan. Buruk dikebiri, baik tak jadi bahan berita. Fakta terdistorsi. 

Zaman sekarang banyak duit negara dikorupsi. Ditambah rakyat yang terlalu apatis terhadap agenda pemerintah. Sungguh abnormal. Rakyat memegang janji mereka yang sudah tahu nantinya akan dikecewakan. Petinggi negara pekerjaannya hanya membeo. Memantik fantasi di kalangan politik. 

“Saya melakukan itu untuk mengetahui seberapa besar hukum mengendalikan manusia.”, ucap seorang tokoh pengerat duit rakyat versi terbaru, kemarin siang di meja hijau. Fathon A.H. 

Banyak jalan yang dilakukan untuk menduduki kursi dewan. Entah apa yang dicari. Bukankah sulit menjadi generasi pemikir?

°°°
“Bagaimana dengan perkembangan negara kita?”
“Masih sama melankolisnya.”
Hari ini adalah sidang pertamanya berlangsung. Dia menganggapnya hanya sebuah undangan. Sidang pertamanya dilaksanakan di gedung raksasa hijau yang berlokasi di Kebayoran Lama. Hakim pasti sudah tidak sabar untuk mengupas tuntas kasus ini. Calon terdakwa membuat situasi menjadi melodramatikal. Juru berita memang tidak diperkenankan meliput jalannya persidangan. Di luar, mereka digauli rasa penasaran.
“Saudara Fathon A.H. atas kasus korupsi uang negara. Betul?”
“Betul, Yang Mulia.”
“Siapa saja pihak yang terkait dalam kasus ini? Ya semua orang pasti tahu kalau kasus ini tidak mungkin anda lakukan sendiri bukan?”
Dia terdiam di kursi terdakwa. Teringat lagi di memori otaknya tentang perjanjian itu. Jika satu nama terucap dari mulutnya, tamatlah riwayatnya. Perjanjian dengan salah satu oknum negara atas aliran dana yang kini jadi prahara di dunia politik. Mereka telah seiya sekata untuk memperbaiki taraf hidup dengan jalan yang salah. Berangkat dari mengantongi sebagian dari persentase uang negara. Mereka kenyang disuapi uang rakyat. Saat ini, praktisi negara menjadi serigala bagi rakyatnya sendiri.
“Tidak ada, Yang Mulia.” Kali ini suaranya terdengar agak sengau. Mungkin karena dihujani pertanyaan sejak awal kasus ini tersebar. Satu persatu pertanyaan dan pernyataan dieksekusi.
Sebenarnya percuma saja bertanya seperti itu. Sampai mulutnya berbusa pun, dia tetap tidak akan menyatakan kebenaran. Sama halnya menyuruh orang buta aksara untuk mencari sebuah buku. Nihil. Dia tampaknya menangis. Ah, itu akan keren kalau air matanya berubah menjadi darah. Begitulah jadinya kalau rakyat merasa terusik.
“Anda kan sudah tahu kalau pekerjaan anda itu berkaitan dengan uang. Kalau dari dulu sudah sadar iman anda lemah, mengapa anda mau mengambil kedudukan itu?”
“Saya rasa, iman bukan menjadi latar belakang kasus ini.” Jelasnya menapis pertanyaan Hakim.
Di sana terlihat pengacaranya melakukan berbagai pembelaan. Dengan aksen British-nya yang sedikit menunjukkan kalau beliau adalah sarjana lulusan universitas mancanegara. Mungkin universitas itu akan menjadi trend-setter di waktu dekat ini. Di kursi baris pertama, tampak istrinya memakai gincu berwarna merah merona. Kedua anaknya juga diajak ke persidangan itu. Mereka dalam sedu sedan.
Di dunia ini, baru Hakim itu yang berani menggertaknya. Andai saja Hakim itu bisa diajak berkompromi atau malah damai ditempat. Agaknya, mereka menciptakan paham yang berbeda di sepanjang persidangan. Juga sepasang gerahamnya yang mulai saling berpatukan. Di tambah microphone yang selalu mengarah ke mulutnya dengan sebuah tripod sebagai sanggahan.
“Lantas berapa persen uang yang anda terima?”
“Sekitar 70%, Yang Mulia.”
“O...kalau begitu ada orang lain yang menerima 30% itu. Bukan begitu?”
Mulutnya mengatup seperti ada jahitan benang di sepasang bibirnya. Pembicaraan mereka tidak pernah panjang. Atas pertanyaan yang dilontarkan tadi, Hakim mengartikan itu sebagai “ya”. Dia bak semut yang dilingkari kapur barus. Namun tetap berhasil keluar dari lingkarannya. Melenceng dari tanggung jawab yang sudah dipegang.
Kursi yang sudah didudukinya hampir satu jam itu pasti sudah mencapai titik didih. Hakim belum puas. Jaksa sepertinya akan membuat pernyataan. Terlihat saat ia mengarahkan microphone itu ke mulutnya.
“Menurut dokumen-dokumen keuangan yang diserahkan KPK, negara mengalami selisih antara penerimaan negara secara fisik dan catatan. Adanya praktik KKN bukan saja kemungkinan, tetapi memang sudah jelas Pak Hakim.”, tutur Jaksa.
“Saya tidak setuju, Yang Mulia. Dokumen negara bukan hal yang pasti valid dan terjamin kebenarannya. Bisa saja karena kelalaian saat menuliskan nominal sehingga menimbulkan selisih.” Jelas pengacara itu.
Pembicaraan mereka tidak saling bersua. Terlihat si terdakwa diam tanpa kata. Terdapat kesenjangan yang membuat sidang semakin pelik. Mereka layaknya lakon yang sentimental. Kerap kali menyela pembicaraan satu sama lain. Mengalahkan porsi bicara si tokoh utama. Jarang tercipta kata-kata sensasi dari mulut subjek cerita. Setidaknya untuk bumbu cerita. Hakim terus memancing calon terdakwa. Konflik mencapai klimaks.
Dia harus berhati-hati pada kata yang terucap. Sama halnya dengan siaran langsung, tidak bisa diedit atau dipotong di bagian tertentu. Jangan sampai kata-kata yang terlepas dari mulutnya menggigit lidahnya sendiri. Pita rekaman selalu berputar di dalam kasetnya. Sekali lagi, tidak bisa disunting.
Hakim terus menggojlok si terdakwa demi mendapat keterangan yang orisinil. “Yah, setidaknya kasus ini memberikan hakim itu pekerjaan”, gumam Fathon dalam hati. Setelah dirasa cukup, Hakim menyudahi persidangan itu. Sidang akan dilaksanakan dua hari lagi.
Seusai persidangan, juru warta sudah siap untuk mencuatkan bertubi-tubi pertanyaan untuk kasus yang dibayar mahal oleh pers. Sedangkan si subjek cerita membungkam mulutnya di media massa dan menerobos kawanan dari mereka. Ia memarang segala opini publik tentang kasusnya.

“Tikus-tikus berdecit
Saling jejal sampai kaki gemetar
Rakyat dijadikan anak tangga untuk capai ambisi
Perlu akurasi untuk mengevakuasi kebenaran
Memegang pusara negara
Pada garis haluan yang keras,
tapi melempem di dalam
Untuk apa ada empat pilar?”

Untung saja, mobilnya tidak disita KPK. Itu adalah harta kekayaan satu-satunya yang diperoleh dari hasil jerih payahnya saat masih menjadi anggota TNI. Istri dan kedua anaknya yang tadi hadir di persidangan juga pulang bersama. Mereka masih bisa mendengarkan lagu-lagu lawas yang sempat terkenal di era 80-an. Hari demi hari terasa berat baginya. Lebih berat daripada memikirkan utang yang belum dilunasi sejak tiga kali masa gajian. Mereka telah sampai di kediamannya yang kini telah dipasangi pelat penyitaan atas nama KPK. Mau bagaimana lagi? Prioritas publik harus diutamakan. Malam ini tidur di mobil tidak mengapa. Esok, dititipkannya istri dan anak kepada mertua untuk waktu yang entah sampai kapan. Mungkin ini sudah suratan tangan Tuhan.
Tepat dua hari setelah sidang pertama dilaksanakan, kini dia datang lagi ke gedung itu. Dia mulai terlihat seperti penjelajah ulung. Kerap kali dia mengitari jalan-jalan di daerah itu. Ada beberapa pengguna jalan yang mengeluh karena macet. Menyalahkan jalan yang semakin sempit karena ekspansi dari wilayah permukiman. Padahal itu semua karena jalan yang mereka penuhi sendiri dengan mesin beroda yang semakin membabi buta.
Baginya, untuk apa absen di persidangan. Hanya semakin memperlama proses persidangannya saja. Dengan gamangnya ia menatap lantai gedung. Juru warta sudah menunggu kehadirannya. Bersama lampu blitz yang terus diarahkan ke wajahnya, pengeras suara berlabel stasiun TV dan alat perekam suara. Langsung saja beberapa polisi mengawalnya sampai ke depan pintu sidang. Dia duduk di kursi itu lagi. Tertegun sebentar, membayangkan kapan akan dikenakan padanya baju tahanan itu.
Hari ini peserta yang hadir di ruang itu tidak begitu banyak. Jumlahnya tidak lebih dari ¾ dari orang yang hadir di sidang pertama. Mungkin mereka bosan melihat kebohongan yang keluar dari mulutnya. Di sana juga nampak fraksi-fraksi sosial. Hakim sudah siap dengan catatan-catatan pertanyaannya. Palu diketukkan ke mejanya. Meja yang tidak pernah hancur walaupun sudah banyak hantaman yang dilakukan si Hakim. Tiba-tiba miliaran air berkejaran jatuh ke bumi. Mereka terdengar seperti berbisik.
“Bagaimana tempat tidur baru anda? Mana yang lebih empuk antara yang sekarang dan ranjang yang dibeli pakai uang negara?”, ucap Hakim mengawali pembicaraan.
Ia hanya menelan ludah. Kata-kata Hakim itu sungguh sarat makna, seperti pidato presiden yang bila disiarkan di televisi pasti memotong jatah penayangan suatu program yang sedang berlangsung. Uang belanja negara memang penting. Kita tidak bisa mengurangi tingkat konsumtif masyarakat. Gedung-gedung parlemen yang pembangunannya sudah hampir rampung tidak bisa dicukupkan begitu saja. Rusunawa yang terlihat seperti rumah kontrakan dikemas lebih menarik dan efisien. Negara harus produktif untuk dapat dianggap maju.
“Tolong ceritakan kronologi kejadian menurut versinya. Sejak kapan kasus ini mulai dimainkan?”
“Kalau tidak salah, 2½ tahun setelah saya memangku jabatan ini.”
“Jadi, kasus ini dimulai selagi KPK sibuk mengurusi kasus Hambalang?”
“Begitu sekiranya, Yang Mulia. Saya sudah mengkalkulasikan rencana tersebut sebelumnya.”
Kemudian, Jaksa mengangkat tangannya. Ia akan memamerkan ilmu-ilmunya. Layaknya para akademisi yang selalu mencetuskan filsafat-filsafat tanpa mengetahui kebenarannya.
“Menurut saksi yang ada, dia melihat pertemuan antara saudara dan satu orang lain yang masih samar sosoknya. Siapa dia?”
“Dia rekan saya. Kami hanya sebatas bertemu untuk menyambung tali persaudaraan dan bercengkerama sebentar.”
“Benar, Yang Mulia. Beliau adalah mantan kolega Pak Fathon.”, tambah pembela.
Dari mana pula Pengacara itu tahu apa yang Pak Fathon dan orang itu rembuk. Berapa uang yang Ia terima sampai Ia berani mengatakan kebohongan?
Kesaksian yang diberikan Fathon A.H selalu bertolak belakang dengan berita acara yang sudah tertulis. Hakim masih berusaha mencari kebenaran cerita. Calon terdakwa semakin gugup dicecar pertanyaan oleh Hakim.
“Lalu, kejadian yang sebenarnya dilakukan di mana?”
“Rumah saya”, jawab Fathon.
“Berarti keluarga anda mengetahui kejadian ini?”
“Tidak, Yang Mulia. Kami membicarakan bisnis itu di ruang kerja saya.”
“Lalu apa saja yang dibicarakan?”
“Kami hanya merundingkan pembagian jatah, sasaran untuk dijadikan pengecoh, dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai aksi kami.”
“Mengapa rekan anda hanya memeroleh 30% saja? Apakah itu hanya sebagai uang tutup mulut?”
“Tidak. Kami melakukannya bersama-sama, Yang Mulia. Dia tidak terlalu berperan dalam kasus, sehingga mendapat bagian sedikit.”
“Apa beliau membagi kembali 30% itu?”
“Saya kurang tahu, Yang Mulia.”
“Apakah dia termasuk orang dalam parlemen? Di posisi mana kedudukannya dalam kabinet?”
“Saya tidak tahu, Yang Mulia.”
Jika digambarkan dengan kurva, sebenarnya pemasukan APBN pada kasus ini tidak menunjukkan perbedaan yang begitu signifikan. Tetapi, perkara tetaplah perkara. Itu semua bukan karena mereka tidak becus mengelola uang negara, hanya saja mudah terusik dengan kelaliman. Mereka meminta rakyat menuruti hukum, tapi bagaimana dengan mereka sendiri? Apa relevansinya hukum dengan kemanusiaan? Birokrasi digonta-ganti seolah-olah negara ini tidak punya harga diri.
Kendatipun, banyak oknum yang dengan gamblangnya melakukan itu. Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 seakan-akan hanya menjadi formalitas. Lagipula jika rakyat sesumbar di media dan di berbagai aksi demonstrasi, tetap saja aspirasi rakyat tidak didengar. Sungguh nahas negara ini.
Setelah berbagai pertanyaan yang dilontarkan, Hakim akhirnya mengakhiri sidang itu. Jaksa segera memberikan vonis. Hakim segera mengambil keputusan. Ia mengangkat palu dan mengetuk meja sidang. Pak Fathon resmi menjadi tahanan rutan. Vonis hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp150.000.000,-. Ia dijerat pasal 12 a atau b, pasal 5 ayat 2, atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999. Mungkin sebentar lagi istrinya akan datang ke pengadilan itu juga. Tentunya pulang dengan membawa surat cerai dan sertifikat harta gono-gini di tangannya.
°°°
Dengan tergopoh-gopoh Ia duduk di dalam besi. Polisi itu mengantarkannya ke suatu bilik tahanan di sana. Ruangan itu juga bukan VIP yang biasa diperuntukkan kalangan berkelas. Sekarang, di sel berukuran 3x4 meter itu, dia menghabiskan sisa hidupnya. Mungkin di penjara nanti dia akan lupa hari apa sekarang dan kapan ulang tahunnya sendiri. Bahkan berita tentang dirinya di televisi tidak sempat Ia tonton. Seragam khusus anggota rutan ini seperti membedakan mereka dengan dunia luar, dunia yang bebas. Secara sporadis muncul anggota baru dalam kandang itu. Para petinggi negara juga.
Seorang lelaki tua berseragam cokelat berkacak pinggul sambil sesekali menatapnya. Pin yang menempel di seragamnya menunjukkan pangkat yang dimilikinya. Lelaki tua itu selalu melepas topinya jika panas menerpa. Duduk di depan mesin tik sambil sesekali menyeduh kopi. Menikmati udara malam kadang memancing rasa kantuk. Petugas jaga jam malam sudah datang, dan segera menggantikan pekerjaan si lelaki tua tadi. Sedangkan di lantai beralaskan tikar, para narapidana mulai terlelap.
Di masa transisi yang membutuhkan banyak uang ini, uangnya malah dikeruk habis-habisan oleh para koruptor. Rakyat digertak untuk membayar pajak-pajak negara demi mencukupi anggaran belanja negara. Tapi akhirnya habis untuk pelesir dan hura-hura. Kejujuran telah mangkat dari nurani mereka. Semakin uzur semakin tidak dapat dipercaya. Bagaimana paradigma membentuk citra subjektif seseorang. Lupa pada janji yang mereka ikrarkan atas nama Al-quran ataupun Injil.
Tugas yang diemban sekarang sudah menimbulkan kemajuan yang melamban. Ingin menjadi negara maju, tetapi asas yang fundamental saja tidak bisa dibenahi. Semakin sulit saja cita-cita itu tercapai. Di arena penuh kriminalitas ini, banyak sikap-sikap buruk yang sulit dinetralisasi. Mata hijau akan berakhir di meja hijau. Masih beranikah mengatakan uang itu segalanya?
Tiba-tiba suasana menjadi gaduh. Ada segerombolan wartawan yang ingin meliput kasusnya. Para petugas kepolisian yang kewalahan itu menyuruh mereka pergi. Dia hanya duduk bersila dan menganggapnya sebuah tontonan. Dia bukan orang gedongan lagi. Harta hasil raupannya sudah dikembalikan kepada negara. Jajaran legislatif bukan jaminan. Salah satu harapannya hanyalah remisi saat mendekati Hari Raya. Ataupun orang berhati mulia yang bersedia menukarkan uangnya untuk sebuah kebebasan. Penjara akan menjadi masa depannya. Entah akan setua apa saat dia keluar dari jeruji besi itu.
Membinasakan korupsi berarti membunuh kolusi dan nepotisme juga. Dunia dengan kemajemukan karakter harus mampu melakukan integrasi atau pembaruan hingga menjadi kesatuan yang bulat. Koruptor mungkin lebih cocok disebut tikus gorong-gorong. Hidup di tempat yang kotor dan menjijikkan. Semua pemberantasan itu untuk membangun negara yang mahardika. Sejauh-jauhnya koruptor berlari dari kejaran polisi, dia tetap tidak bisa bersembunyi.
Negara demokratis tidak mungkin membiarkan rakyatnya terbengkalai oleh skandal korupsi. Katanya negara ini menganut otonomi daerah yang sentral. Tetapi yang ditemui tetap sama. Kebijakan hanya milik pemerintah. Sanksi sosial mungkin akan lebih mujarab. Seperti memiskinkan koruptor dan mengasingkannya dari lingkungan masyarakat.
Kalau pengamatan kita tidak sempit, sebenarnya banyak kasus suap yang dikirim melalui transfer bank atas nama nasabah orang lain. Pada akhirnya, tidak ada bukti fisik yang bisa diajukan ke pengadilan. Tidak ada bukti maka dikatakan tidak bersalah. Mereka berkeliaran di luar sana.
Ada pengulangan dan ambiguitas pada landasan negara kita, Undang-Undang Dasar 1945. Sepertinya ada beberapa bagian yang harus direvisi dan diamandemen lagi. Jangan hanya asal menambah pasalnya. Itu saja masih sulit ditaati, apalagi kalau ditambah. Kejanggalan jika dibiarkan akan semakin mendarah daging. Orang kosmopolitan harus jeli saat mengubah pertimbangan menjadi solusi.
Negara tidak boleh merebahkan diri terlalu lama. Kita harus bangun dari mimpi yang terlalu sangar ini. Kepemimpinan yang bengis harus dilengserkan. Negara darurat kejujuran. Padahal, yang dibutuhkan negara ini hanyalah sebuah kesepadanan.
°°°